Dunia Terancam Resesi dan Stagflasi, Lebih Baik Nabung atau Investasi?

Lintas7news.com – Resesi ekonomi global sudah di depan mata, dibayangi risiko stagflasi, terutama di AS dan Eropa.
Kondisi ini dipicu oleh kebijakan sejumlah bank sentral memerangi lonjakan inflasi dengan menaikkan suku bunga. Kebijakan tersebut dianggap berlawanan dengan upaya pemulihan ekonomi pasca-pandemi covid-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi resesi global akan terjadi pada tahun depan. “Kenaikan suku bunga cukup ekstrem bersama-sama, maka dunia pasti resesi pada 2023,” ungkapnya dalam konferensi pers, Senin (26/9) lalu.

Hal itu juga diamini oleh Bank Dunia. Presiden Bank Dunia David Malpass meminta pemerintah di banyak negara mewaspadai risiko stagflasi, mengingat ancaman resesi semakin nyata.

“Negara berkembang menghadapi prospek jangka pendek yang sangat menantang,” jelasnya.

Lantas, dalam kondisi seperti ini, instrumen investasi apa saja yang cocok untuk dipilih?

Cash is The King
Perencana Keuangan Advisor Alliance Group (AAG) Indonesia Dandy mengatakan kemungkinan resesi dalam waktu dekat tentu bisa berpengaruh pada market.

Ia menuturkan untuk siap-siap menghadapi situasi tersebut, lebih baik jangan terlalu rakus dalam mengambil keputusan, termasuk memilih instrumen investasi.

Dilansir dari CNNIndonesia.com – Menurut Dandy, uang tunai bisa menjadi pilihan. Sebab, uang kontan merupakan instrumen investasi jangka panjang yang tidak akan terlalu terpengaruh saat resesi.

“Karna cash sudah pasti uang nggak akan ke mana-mana dan bisa di siapkan saat resesi benar terjadi,” ungkapnya kepada CNNIndonesia.com.


Obligasi
Obligasi adalah surat utang jangka menengah maupun jangka panjang yang dapat diperjualbelikan.

Khusus obligasi, Anda bisa berinvestasi pada instrumen ini dengan mengambil obligasi dengan kupon tetap (seri FR- Fixed Rate).

Dengan begitu, investasi tetap terjaga meski ada risiko resesi.

Saham
Dandy mengatakan saham masih menjadi pilihan menarik untuk berinvestasi kala resesi. Dengan catatan, harus memilih emiten yang memang tahan terhadap pelemahan ekonomi.

“Untuk emiten sendiri biasanya yang lebih tahan dampak resesi itu yang punya fundamental kuat, seperti yang di LQ45, misalnya,” imbuh Dandy.

Indeks LQ45 adalah indeks pasar saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang terdiri dari 45 perusahaan yang memenuhi kriteria tertentu. Seperti, termasuk dalam 60 perusahaan teratas dengan kapitalisasi pasar tertinggi dalam 12 bulan terakhir.

Lalu, termasuk dalam 60 perusahaan teratas dengan nilai transaksi tertinggi di pasar reguler dalam 12 bulan terakhir, telah tercatat di BEI selama minimal 3 bulan, hingga memiliki kondisi keuangan yang baik.

Emas
Dandy mengatakan emas juga bisa menjadi pilihan utama. Sebab, emas sendiri merupakan aset safe haven.
Umumnya, ketika perekonomian sedang terpuruk, harga emas cenderung naik. Hal ini sudah terbukti saat krisis akibat pandemi covid-19.
Saat itu, banyak investor mengalihkan uangnya ke emas, sehingga harganya pun naik. Hal ini bisa kembali dimanfaatkan investor apabila terjadi resesi.
“Kalau kita berkaca dengan kondisi saat krisis covid-19, orang berbondong-bondong mengalihkan dananya ke emas, alhasil harga emas jadi naik saat pandemi,” kata Dandy.

Reksa Dana
Perencana Keuangan OneShildt Consulting Imelda Tarigan berpendapat meski ancaman resesi global kian nyata di tahun depan, Indonesia tidak akan terlalu terkena dampak.

Sebab, kondisi fundamental makro ekonomi RI masih relatif lebih baik dari pada negara-negara adidaya seperti AS dan Eropa.

Oleh karena itu, untuk instrumen investasi pun bisa memilih sektor yang mendukung perputaran ekonomi domestik, seperti reksa dana, khususnya pendapatan tetap.

Reksa dana pendapatan tetap adalah dana yang diinvestasikan minimum 80 persen dari nilai aktiva bersih yang berupa surat utang atau obligasi. Adapun sisanya merupakan investasi yang ditanamkan pada pasar uang.

Selain bisa mendukung perputaran ekonomi global, menurut Imelda, instrumen investasi ini juga memiliki prospek baik dalam dua tahun ke depan.

“Less volatile, return-nya masih lebih tinggi dari inflasi, prospek setelah dua tahun lagi masih positif,” ungkap Imelda.

(CNNIndonesia/NB)


Bagikan Melalui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.