Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja

 Lintas7News.com – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memerintahkan DPR dan pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja. Ada sejumlah serba-serbi terkait putusan MK ini.

Sebagaimana diketahui, UU Cipta Kerja menjadi salah satu UU kontroversial yang menuai banyak protes. UU ini salah satunya mendapat gelombang protes dari elemen buruh.

Kuasa hukum pemohon uji formil, Viktor Santosa Tandiasa, menerangkan bahwa ini adalah pertama kalinya uji formil dikabulkan oleh MK. Dia mengatakan keputusan ini di luar dugaan karena sebelumnya para pemohon uji formil yang terdiri atas buruh dan mahasiswa ini telah hilang harapan.

“Nah, memang ini baru pertama kali dalam sejarah MK berdiri, baru uji formil baru perkara ini lah yang diuji dikabulkan, sebelumnya KPK ditolak, lalu kemudian (UU) Minerba ditolak, baru kali ini Cipta Kerja dikabulkan, memang sebenarnya jauh dari ekspektasi kita ya, karena dari awal kita ya hampir tidak ada harapan melihat perkembangan MK, tapi ternyata di luar dari dugaan, ternyata MK mengabulkan, itu mengabulkan walaupun memberikan tenggat waktu 2 tahun untuk memperbaiki,” kata Viktor di depan gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (25/11/2021).

Viktor mengatakan kebijakan-kebijakan strategis harus ditangguhkan pemerintah. Viktor meminta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) untuk membatalkan aturan-aturan terkait buruh yang lahir dari Undang-Undang Cipta Kerja.

“Yang paling penting terhadap kebijakan-kebijakan strategis itu harus ditangguhkan. Jadi, ketika ada kebijakan-kebijakan yang merugikan buruh yang menggunakan Cipta Kerja, semua otomatis harusnya batal demi hukum karena sudah ditangguhkan oleh MK, sehingga kalau tindak lanjut dari sini seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan itu harus membatalkan semua aturan aturan yang terkait dengan buruh yang lahir karena UU Cipta Kerja karena MK sendiri mengatakan harus ditangguhkan seperti itu,” ungkapnya.

Dilansir dari Detik.com – Ada beberapa hal penting seputar putusan MK soal UU Cipta Kerja ini. Dirangkum detikcom, Jumat (26/11/2021) berikut ini serba-serbi putusan MK untuk revisi UU Cipta Kerja.

UU Cipta Kerja Harus Diperbaiki Maksimal 2 Tahun

UU Cipta kerja harus segera diperbaiki. Batas maksimal waktu perbaikan 2 tahun.

“Menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja tidak mempunyai ketentuan hukum yang mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan,” kata Ketua MK Anwar Usman.

Konsekuensi Bila Tidak Diperbaiki dalam Kurun 2 Tahun

Ada konsekuensi bila UU Cipta Kerja tidak diperbaiki dalam batas waktu tersebut. UU yang direvisi bisa berlaku kembali.

“Apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Nomor 11/2020 harus dinyatakan berlaku kembali,” tutur Ketua MK Anwar Usman.

UU Lama Masih Berlaku

MK menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 masih tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. MK juga memerintahkan melarang menerbitkan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” ucap Anwar.

Dissenting Opinion

Empat hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion, yaitu Anwar Usman, Daniel, Manahan, dan Arief Hidayat.

Salah Ketik

Ada beberapa salah ketik dalam UU ini. Pada halaman 151-152 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001), terdapat perubahan atas Pasal 46 yang menyatakan:

“Pasal 46 (1) Pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa dilakukan oleh Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4).

(2) Fungsi Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan Pemerintah Pusat dapat terjamin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi di dalam negeri.

(3) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan dan penetapan mengenai:

a.ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak: b.cadangan Bahan Bakar Minyak nasional; c.pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak;

d.tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa; e.harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; dan f.pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.

(4) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup tugas pengawasan dalam bidang-bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Namun, pada halaman 227-228 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan), Pasal 46 tersebut tidak termuat lagi dalam Perubahan UU 22/2001 [vide bukti PK-90, bukti PK-186, dan bukti PK-188];

Sedangkan pada halaman 388 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden) yang mengubah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007), terdapat perubahan atas ketentuan Pasal 7 ayat (8) yang semula berbunyi “Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah”. Namun, pada halaman 610 UU 11/2020 (setelah disahkan/diundangkan), ketentuan Pasal 7 ayat (8) diubah menjadi “Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil”. Perubahan tersebut menghilangkan kata “menengah”. [vide bukti PK-90, bukti PK-186, dan bukti PK-188];

Tak Beri Ruang Partisipasi Publik

MK menilai pembentuk UU, yakni DPR, tidak memberi ruang partisipasi publik yang maksimal.

“Bahwa sementara itu berkenaan dengan asas keterbukaan, dalam persidangan terungkap fakta pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal,” demikian bunyi putusan MK yang dibacakan hakim konstitusi secara bergantian dalam sidang MK siang ini, Kamis (25/11/2021).

Sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, kata MK, pertemuan itu belum membahas naskah akademik dan materi perubahan undang-undang a quo. MK menyebut hal itu membuat masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui apa materi perubahan undang-undang yang akan digabungkan dalam UU 11/2020.

“Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU cipta kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal, berdasarkan Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 akses terhadap undang-undang diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis,” ujar MK.

Tak Memenuhi Syarat UU 12/2011

Selain itu, UU Cipta Kerja dianggap tidak memenuhi syarat UU 12/2011 terkait asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai keharusan untuk digunakan dalam membentuk peraturan perundang-undangan.

“Namun ternyata tidak digunakan sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan ketidakjelasan cara atau metode yang digunakan oleh UU 11/2020. Hal ini tentu tidak sejalan dengan maksud ‘asas kejelasan rumusan’ dalam UU 12/2011 yang menghendaki agar setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya,” ujar MK.

(Detik/RI)

Bagikan Melalui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.