Debat Aturan Baru Nadiem Mengenai Kekerasan Seks Kampus

Lintas7News.com – Peraturan Mendikbudristek Nadiem Makarim nomor 30 Tahun 2021 menuai protes sejumlah pihak.

Aturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang diundangkan pada 3 September 2021 itu pada beberapa poin justru dianggap melegalkan seks bebas.

Dilansir dari CNNIndonesia.com – Kemendikbudristek membantah keras penafsiran tersebut. Namun protes kadung menggema. Nadiem pun didesak mencabut Permendikbud tersebut.

Adapun poin poin yang dianggap melegalkan seks bebas oleh sejumlah kalangan di antaranya:

Pasal 1 angka 1

Pasal 1 angka satu dalam permendikbud tersebut berbunyi;

“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang,

karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.”

Frasa “ketimpangan relasi kuasa” dalam pasal tersebut dianggap mengandung pandangan yang menyederhanakan masalah pada satu faktor.

Pasal 3

Pasal ini berisi prinsip-prinsip pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Namun, pasal ini dikritik karena tidak mengandung landasan agama.

Adapun bunyi Pasal 3 yaitu;

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip: kepentingan terbaik bagi korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan gak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabulitas, independen, kehati-hatian, konsisten, dan jaminan ketidakberulangan.

Pasal 5

Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 aturan dianggap menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Sebab, dalam pasal tersebut dijelaskan kekerasan seksual mencakup hal-hal yang dilakukan ‘tanpa persetujuan’

Frasa ‘tanpa persetujuan’ ini menuai protes lantaran frasa tersebut bisa ditafsirkan melegalkan zina jika kedua belah pihak saling menyetujui tindakan seksual.

Pasal 5 ayat 1

Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Pasal 5 ayat 2;

b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;

f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;

k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;

l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang,memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;

m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;

Pasal 19

Pasal ini mengatur sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual dalam institusi pendidikan. Bunyi pasal 19 yaitu;

Perguruan Tinggi yang tidak melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dikenai sanksi administratif berupa:

a. penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk Perguruan Tinggi; dan/atau

b. penurunan tingkat akreditasi untuk Perguruan Tinggi.

Adapun yang disoroti oleh mereka yang menolak yaitu sanksi itu dinilai tidak proporsional, berlebihan, dan represif tidak mengedepankan pembinaan.

Salah satu kritik terhadap aturan ini datang dari Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, Lincolin Arsyad. Dia menilai aturan Nadiem memiliki masalah dari sisi formil dan materiil.

Arsyad menilai rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 aturan itu menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.

Salah satu definisi kekerasan seksual yang diatur dalam pasal 5 Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 adalah menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.

Arsyad menilai standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, persetujuan dari para pihak.

“Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah,” kata dia.

Kemendikbudristek membantah aturan itu dibuat untuk melegalkan perzinaan atau seks bebas di lingkungan kampus.

Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam mengatakan aturan tersebut diterbitkan dengan berfokus untuk melakukan pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. Menurutnya, definisi dan pengaturan dalam permen tersebut khusus untuk mengatasi hal tersebut.

“Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk diawal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan’, bukan ‘pelegalan’,” kata Nizam, Senin (8/11).

(CNNIndonesia/RI)

Bagikan Melalui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.