Kayu Sengon Banjiri Sisi Jalan, Perhutani Diklaim Buka Peluang Pencurian

Lintas7News.com – Ribuan batang kayu sengon hasil penebangan di lahan hutan seluar 287 hektare wilayah Perhutani Blitar, mendapat kritik dari warga dan pengamat setempat. Itu karena ribuan batang kayu milik negara tersebut ditumpuk di sisi jalan Desa Darungan, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar tanpa ada penjagaan.

Warga desa setempat menyaksikan ribuan batang kayu sengon itu seperti membanjiri sepanjang sisi jalan desa, bahkan memenuhi sebagian lahan hutan di dekatnya, Senin (4/10/2021).

Mereka menilai Perhutani sembrono karena membiarkan ribuan gelondong kayu yang berharga itu hanya menumpuk tanpa segera diangkut. Karena dengan begitu, Perhutani malah membiarkan kayu-kayu itu rawan jadi sasaran pencurian.

Sebab yang sering terjadi, jumlah kayu itu belum dipastikan sehingga rawan terjadi tindak kejahatan yang dilakukan oleh oknum orang dalam sendiri.

“Karena kayu hutan itu merupakan aset negara, seharusnya diamankan di dalam TPK (tempat penyimpanan kayu), bukan ditaruh sembarangan seperti itu,” ujar Agus, warga Desa Darungan, Kecamatan Kademangan, Senin (4/10/2021).

“Siapa yang bisa menjamin kalau kayu sebanyak itu aman karena hanya ditumpuk begitu saja. Kalau tidak ada penjaganya, orang dengan mudah menaikkan ke atas pikap karena menumpuk di tepi jalan raya,” tambahnya.

Dari pengamatan, ribuan gelondong kayu itu berukuran rata-rata 3 meter dan memang memenuhi sisi jalan sampai di depan TPK, sehingga rawan terjadinya pencurian.

Menurut warga, keberadaan tumpukan kayu itu sudah ada selama sepekan terakhir, dan tidak ada petugas yang menjaganya.

“Sepertinya perhutani asal menebang saja bukan ada perencanaan. Kalau misalnya, tak ada tempat di dalam TPK sebaiknya tidak usah ditebang dulu,” ungkapnya.

Dilansir dari Surya.co.id – Menanggapi hal itu, Agus Suryawan, Wakil Adm Perhutani Blitar mengatakan, penumpukan di sisi jalan itu hanya sementara karena TKP sudah tidak menampung. Sebab di dalam TPK masih banyak kayu jati sehingga untuk sementara kayu sengon yang baru 10 hari ditebang itu terpaksa ditumpuk di luar TPK Darungan.

“Bukan nggak ada rencana tetapi hanya sementara. Itu ditebang karena memang sudah waktunya atau umurnya sudah 5 tahun,” kilah Agus.

Agus mengatakan bahwa ribuan batang kayu itu ditebang dari hutan seluas 287 hektare di RPH (Resort Pemangkuan Hutan) Sumber Ringin, Kecamatan Rejotangan.

Setelah ditebang, gelondongan kayu itu akan diangkut dan disimpan ke TPK Darungan, yang berjarak sekitar 10 KM dari lokasi penebangan. “Itu ditebang sekitar 10 hari lalu, lalu dibawa ke TPK itu. Soal berapa jumlah kayu yang ditebang, itu belum bisa dihitung,” ungkapnya.

Namun menurutnya, biasanya dari 1 hektare lahan hutan bisa menghasilkan 800 meter kubik kayu atau kurang lebih 1.000 pohon. Mengapa itu tidak segera dijual karena kalau lama disimpan kayu sengon itu rawan rusak, Agus juga punya penjelasan.

Menurutnya, sebenarnya kayu-kayu sengon itu akan langsung dijual. Namun yang terjadi, harga kau sengon milik penduduk lebih murah sehingga menunggu harga yang layak.

Informasinya, kayu sengon dari hasil pekarangan warga hanya berkisar antara Rp 400.000 sampai Rp 450.000 per meter kubik. Sementara Perhutani menawarkan per meter kubiknya Rp 800.000 sehingga tidak ada yang berani membeli.

Akhirnya, terpaksa kayu-kayu itu ditumpuk begitu saja di luar TPK. Mahalnya harga jual kayu sengon milik Perhutani itu karena dihitung bersama pajaknya dan besarnya ongkos penanaman sampai perawatan.

Tidak hanya warga yang menyoroti namun LSM ikut angkat suara. M Trianto, koordinator LSM KRPK (Komite Rakyat Pemberantasan Korupsi) mengatakan, penebangan itu menunjukkan bahwa Perhutani semboro. Karena meletakkan begitu saja hasil hutan milik negara di tepi jalan, jelas tidak boleh dan bahkan dilarang.

“Buat apa ada TPK. Itu kan buat menyimpan kayu, bukan kayu itu ditaruh di tepi jalan raya meski berada di depan TPK. Siapa yang menjaganya kalau malam hari, ada mobil mengangkutnya karena tergoda ada kayu sebanyak itu, dibiarkan begitu saja,” ungkap Trianto.

Belum lagi kerawanan lainnya, ujar Trianto, yaitu tidak ada yang menghitung tumpukan kayu sebanyak itu. Ia cemas bahwa tidak ada akurasi antara jumlah yang ditebang, dengan yang akan dijual.

Sebab, misalnya hilang 25 batang saja pasti tidak akan kelihatan perubahan tumpukannya. “Kok sembrono begitu, wong itu aset negara yang mestinya harus diamankan. Tapi, tak tahu lah, mungkin ada maksud lain, yang nggak usah kami jelaskan,” pungkasnya.

(Surya.co.id/RI)

Bagikan Melalui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.