Polisi Myanmar Mengaku Diperintah Untuk Menembak Mati Demonstran

epa08995537 Armed riot police stand guard as demonstrators flash the three-finger salute, a symbol of resistance, during a protest against the military coup in Naypyitaw, Myanmar, 08 February 2021. Thousands of people took to the streets of Yangon and other cities, for a third day of mass protests against the military coup. Myanmar's military seized power and declared a state of emergency for one year after arresting State Counselor Aung San Suu Kyi and Myanmar president Win Myint in an early morning raid on 01 February. EPA-EFE/MAUNG LONLAN

Lintas7News.com – Sejumlah polisi Myanmar mengaku diperintah menembak mati demonstran anti-kudeta, namun mereka menolak dan memilih lari ke India.

Dilansir dari CNNIndonesia.com Tha Peng adalah salah satu polisi yang menolak saat diperintah menembak demonstran dengan senapan mesin ringan di Kota Khampat, Myanmar pada 27 Februari.

“Keesokan harinya, seorang petugas menelepon untuk menanyakan apakah saya akan menembak,” katanya. Namun, laki-laki berusia 27 tahun itu kembali menolak dan mengundurkan diri dari kepolisian.

Pada 1 Maret, Tha Peng meninggalkan rumah dan keluarganya di Khampat. Ia melakukan perjalanan selama tiga hari, di waktu malam hari untuk menghindari deteksi atau patroli dari aparat, sebelum menyeberang ke negara bagian Mizoram timur laut India.

“Saya tidak punya pilihan,” kata Tha Peng.

Dia hanya memberikan sebagian namanya untuk melindungi identitas. melihat KTP yang mengkonfirmasi nama tersebut.

Tha Peng menyebut dia dan enam rekannya tidak mematuhi perintah atasan saat 27 Februari lalu.

Menurut dokumen internal polisi rahasia, deskripsi kejadian Tha Peng sama dengan yang diberikan polisi di Mizoram pada 1 Maret oleh polisi Myanmar lainnya dan tiga polisi yang menyeberang ke India.

” militer menekan pasukan polisi yang kebanyakan adalah polisi untuk menghadapi masyarakat,” kata mereka menurut dokumen rahasia polisi.

Dokumen tersebut ditulis oleh petugas polisi Mizoram dan memberikan rincian biografi keempat individu tersebut serta alasan melarikan diri.

“Karena gerakan pembangkangan sipil mendapatkan momentum dan protes yang digelar oleh pengunjuk rasa anti-kudeta di berbagai tempat, kami diperintahkan untuk menembak para pengunjuk rasa,” kata polisi Myanmar yang melarikan diri ke India dalam pernyataan bersama kepada polisi Mizoram.

“Dalam skenario seperti itu, kami tidak punya nyali untuk menembak orang-orang kami sendiri yang merupakan demonstran damai,” ujar mereka.

Junta mengaku telah menahan diri dalam menangani demonstrasi yang dituduh menyerang polisi, merusak keamanan dan stabilitas nasional.

Menurut pejabat senior India, sekitar 100 orang dari Myanmar, mayoritas polisi dan keluarganya, melintasi perbatasan menuju India sejak protes berlangsung.

Selain kartu identitas, Tha Peng menunjukkan foto yang tidak ada keterangan tanggal pemotretan dirinya mengenakan seragam polisi Myanmar. Dia bergabung dengan kepolisian sembilan tahun lalu.

Menurut aturan polisi, kata Tha Peng, pengunjuk rasa harus dihentikan dengan peluru karet atau ditembak di bawah lutut. Tapi dia diperintah oleh atasannya untuk “menembak sampai mereka mati.”

Polisi lainnya, Ngun Hlei, yang mengaku ditempatkan di Kota Mandalay, juga mendapat perintah untuk menembak.

Akan tetapi dia tidak memberikan tanggal, atau menentukan apakah perintah itu adalah menembak untuk membunuh. Dia tidak memberikan rincian korban apapun.

Polisi berusia 23 tahun itu juga hanya memberikan sebagian dari nama lengkapnya dan membawa KTP.

Tha Peng dan Ngun Hlei mengutarakan mereka yakin polisi bertindak di bawah perintah militer Myanmar. Namun mereka tidak memberikan bukti.

Ngun Hlei dipindahtugaskan lantaran tidak mematuhi atasan. Kemudian dia mencari bantuan dari aktivis pro-demokrasi, dan menemukan jalan melalui jalan darat ke desa Vaphai di Mizoram pada 6 Maret.

Perjalanan ke India menghabiskan biaya sekitar 200.000 kyat Myanmar ($ 143), kata Ngun Hlei.

Meski, dijaga oleh pasukan paramiliter India, perbatasan India-Myanmar memiliki “rezim pergerakan bebas”, yang memungkinkan orang untuk menjelajah beberapa mil ke wilayah India tanpa memerlukan izin perjalanan.

Dal, mengaku bekerja sebagai polisi Myanmar di kota pegunungan Falam. Pekerjaannya seputar administrasi, termasuk membuat daftar orang-orang yang ditahan polisi. Tetapi ketika protes meluas, Dal mengaku pernah diperintah untuk mencoba menangkap pengunjuk rasa perempuan, namun dia tolak.

Dal pun memutuskan untuk melarikan diri dari Myanmar.

Tha Peng, hlaing dan Dal menyebut ada dukungan substansial bagi pengunjuk rasa di kepolisian Myanmar.

Peng sendiri sangat merindukan keluarga, tap dia takut kembali ke Myanmar. “Saya tidak ingin kembali,” katanya.

Pekan lalu, Wakil komisaris distrik Falam Myanmar Saw Htun Win, menulis surat kepada pejabat tinggi pemerintah Champhai, Wakil Komisaris Maria C.T. Zuali, meminta delapan polisi yang memasuki India untuk dikembalikan demi menjaga hubungan kedua negara.

(CNNIndonesia/ZA)

Bagikan Melalui

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.