Covid-19 di Indonesia Menanti Keajaiban Plasma Terapi?

Oleh: Mujahidin Nur, Direktur The Islah Centre, Jakarta


Dunia kini telah menjadi tempat yang tidak lagi nyaman untuk dihuni. Di hampir 185 negara di dunia masyarakat dibayang-bayangi rasa takut, khawatir dan perasaan stres menghadapi kondisi dunia dengan pandemi virus mematikan; COVID-19. Per hari ini (1 Mei 2020) lebih dari 323.000 nyawa manusia melayang karena terinfeksi Covid-19, 781.000 tercatat telah sembuh, sementara 3.25 juta lainnya kini masih berjuang di ruang isolasi untuk bisa sembuh dari virus menakutkan ini.

Di tengah ketakutan mereka hidup dalam kepanikan, kekhawatiran dan stres akibat virus, jutaan manusia termasuk di Indonesia berusaha menghindari penyebaran virus dengan berdiam di dalam rumah, memakai masker, melakukan physical distancing atau sesekali mereka berselancar di media sosial untuk meng-update kondisi terkini penyebaran virus di negara mereka masing-masing sambil di benak mereka berusaha mencari jawaban; kapan pandemi ini berakhir? Kapan vaksin antivirus ditemukan? Apakah PSBB sudah sukses menekan laju transmisi virus? Kapan kehidupan mereka kembali normal? Dan sederet pertanyaan lainnya.

Di bumi pertiwi, pandemi virus kini telah membuat 10.551 masyarakat Indonesia terinfeksi, 1.591 sembuh dan 800 lainnya telah meregang nyawa. Cepatnya penyebaran virus ini membuat Presiden Joko Widodo menerbitkan  Keppres no. 12 tahun 2020 tentang Penyebaran Virus Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam pasca pasien nol (zero patient) ditemukan di Indonesia.

Penyebaran virus telah memberikan dampak buruk di berbagai lini kehidupan masyarakat termasuk sektor ekonomi. Hampir semua lini usaha di negeri ini terpuruk. Lebih dari 90 persen omset perusahaan dari UMKM sampai perusahaan menengah ke atas hilang akibat terjangan virus. Belum lagi virus juga menimbulkan gelombang PHK massal di berbagai perusahaan. Menurut Organisasi Buruh Internasional, 81 persen pekerja global atau setara dengan 3.3 miliar pekerja di berbagai penjuru dunia terdampak penutupan kerja akibat pandemi virus. Dari jumlah itu, 1.25 miliar terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK.

Di Indonesia sendiri gelombang PHK akibat pandemi virus meningkat tajam. Menurut Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas, Kementerian Tenaga Kerja, lebih dari 2.8 juta pekerja Indonesia terdampak PHK dan gelombang PHK ini tidak akan berhenti selama pandemi belum bisa diatasi. Skenario terburuk apabila pandemi ini tidak bisa diatasi dengan cepat maka Indonesia akan mempunyai 5.27 juta jiwa pengangguran baru akibat sapuan virus. Sesuatu yang sangat memilukan bukan?

Di tengah ketidakmenentuan akibat pandemi virus Covid-19 yang mewabah di berbagai penjuru dunia, para ilmuwan berlomba-lomba melakukan riset untuk menemukan vaksin antivirus Corona. Namun sampai saat ini belum ada kepastian kapan vaksin antivirus mematikan itu bisa diproduksi massal dan dipakai oleh jutaan pasien terinfeksi Covid-19 di berbagai penjuru dunia.

Menurut pakar epidomologi Universitas Indonesia, Syahrizal Syarief, ada beberapa alasan kenapa vaksin virus Covid-19 ini membutuhkan waktu lama untuk diperoduksi. Pertama, Covid-19 merupakan jenis virus RNA (Ribonucleid Acid) atau kategori virus yang memiliki satu rantai sehingga cenderung lebih mudah berubah, bermutasi dan berkembang. Hal ini membuat pembuatan vaksin untuk virus Corona jauh lebih sulit dan membutuhkan waktu lama dibandingkan virus yang memiliki DNA dua rantai.

Inovio Pharmaceuticals Inc. dan Moderna Inc., perusahaan yang melakukan pengembangan Bioteknologi di Amerika menyampaikan bahwa percobaan vaksin pertama akan dilakukan pada beberapa binatang dalam kurun waktu kurang dari satu bulan. Sementara, University of Queensland, Australia berencana akan mengujicoba vaksin pada manusia dalam waktu 16 minggu ke depan. Pengembangan vaksin dilakukan dengan teknologi melalui pengamatan RNA dan DNA yang spesifik dan mirip dengan virus Corona.

Sementara Matt Hancok, Menteri Kesehatan Inggris pada 22 April 2020 mengatakan, dalam minggu ini Inggris akan melakukan uji coba vaksin Covid-19 pada manusia sebelum melakukan uji coba massal vaksin tersebut. Dalam waktu normal setidaknya para peneliti membutuhkan waktu paling cepat 18 bulan ke depan untuk memproduksi vaksin Covid-19, sementara tiga juta manusia lebih di berbagai penjuru dunia terinfeksi Covid-19 ini.

Di tengah berbagai perjuangan para peneliti untuk menemukan vaksin Covid-19 keberhasilan Shenzhen Third People’s Hospital Shenzhen, China dalam mengobati lima pasien kritis Covid-19 dengan menggunakan Convalescent Plasma penyitas Covid-19 membuat dunia terkesiap. Melalui China National Biotec Group (CNBG), lembaga pengembangan bioteknologi, China melakukan uji klinis penyembuhan pasien positif Covid-19 dengan menggunakan terapi plasma bekerjasama dengan China Red Cross Society.

Paska keberhasilan Shenzhen Third People’s Hospital, para peneliti dari beberapa negara berusaha mengikuti jejak para ilmuwan China untuk melakukan uji coba pengobatan dengan metode convalescent plasma atau transfuse plasma; Perancis, Amerika, Inggris, Korea Selatan, dan Iran adalah negara-negara yang tengah mengembangkan dan melakukan uji klinis pengobatan dengan convalescent plasma dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda.

Tidak mau ketinggalan, para peneliti Indonesia pun bergerak cepat menyusul ilmuwan-ilmuwan lain yang sudah melakukan pengembangan convalescent plasma. Pertemuan ketua PMI Yusuf Kalla dengan kepala lembaga biologi molekuler Eijkman, Prof. dr. Amin Subandrio, Ph.D, Sp.MK. menorehkan secercah harapan bahwa Indonesia dalam waktu dekat akan mencoba pengobatan pasien positif Covid-19 dengan convalescent plasma.

Pasca pertemuan itu Perusahaan Biofarma, RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) dan Eijkman sudah mulai melakukan pengembangan pengobatan convalescent plasma ini sebagaimana disampaikan oleh Neny Nurainy, salah satu peneliti Biofarma yang ikut terlibat dalam pengembangan convalescent plasma.

Menurut Neny Nurainy, secara prinsip penyembuhan dengan metode convalescent plasma memang bisa dilakukan, karena secara alami tubuh kita akan menghasilkan antibodi setiap kali diserang mikro organisme, baik virus ataupun bakteri. Antibodi ini kemudian lama kelamaan mengumpul di plasma darah. Plasma yang sudah kaya akan antibodi inilah yang bisa dimanfaatkan sebagai terapi tambahan untuk pasien Covid-19 lainnya yang sudah memasuki masa kritis. Lebih lanjut sebenarnya sistem kerja convalescent plasma hampir sama dengan serum. Tubuh pasien yang menerima convalescent plasma dari donor akan dapat menetralisasi virus, sehingga virus yang berada di dalam tubuh pasien tidak bertambah banyak.

Namun terlepas dari perdebatan dan diskusi pengobatan convalescent plasma, angka kesembuhan pasien yang mendapatkan donor plasma cukup tinggi sebagaimana disampaikan oleh Prof. dr. Amin Soebandrio, kepala LBM Eijkman. Menurut beliau plasma darah milik penyitas terdapat cukup antibodi yang mampu menetralisir virus dalam tubuh pasien, untuk mengukur antibodi harus dilakukan dengan cara menantang dengan virusnya langsung. Sebagaimana mafhum bahwa Covid-19 membutuhkan sel hidup sebagai inang, karenanya pemberian antibodi yang cukup kadarnya akan menghambat pertumbuhan virus di dalam sel. Alhasil, keajaiban dalam menghadapi setiap peristiwa selalu ada, termasuk ketika bangsa ini menghadapi pandemi Covid-19. Namun berpangku tangan sambil menunggu ‘tangan’ Tuhan menurunkan keajaiban adalah sebuah kesalahan. Diperlukan strategi besar dan usaha maksimal semua elemen bangsa untuk menghadapi pademi ini termasuk oleh para ilmuwannya. Andai penyembuhan pasien Covid-19 dengan metode convalescent plasma yang dikembangkan oleh para ilmuwan berhasil, niscaya keajaiban baru akan terjadi di Indonesia; bukan hanya mampu menekan angka kematian pasien Covid-19 dengan terapi convalescent plasma, namun Indonesia semakin mengukuhkan diri sebagai bangsa besar dengan segudang ilmuwan-ilmuwan unggul berkaliber dunia! (AK)

Bagikan Melalui